Qurban dalam terminologi fiqih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt yang boleh dilaksanakan mulai dari terbitnya matahari pada hari raya idul adha (yaumun nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu tanggal 11,12,13 Dzulhijjah.
Ilustrasi |
Berqurban sangat dianjurkan bagi orang-orang yang mampu, karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadits diantaranya yang diriwayatkan dari sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah swt melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu, dalam al-Qur’an Allah swt juga sudah menganjurkan hamba-hambanya untuk berqurban. Pesan itu termaktub dalam al-Kautsar ayat 2
فصل لربك وانحر (الكوثر: 2)
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkuebanlah (QS. Al-Kautsar)
Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukun. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an’am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba, atau kambing, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak daging.
Itupun harus dilihat umurnya. Onta dapat dijadikan sebagai qurban apabila telah mencapai 5 tahun. Jika sapi atau kerbau minimal berumur 2 tahun. Jika qurban berupa kambing domba (adh-dha’n) minimal telah berumur 1 tahun, sedangkan kambing kacang (al-Ma’z) paling tidak sudah berumur 2 tahun.
Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakansecara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh)orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits dari sahabat Jabir sebagai berikut:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك فى الابل والبقر كل سبعة منا فى بدنة (متفق عليه)
Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang dari kami (Muttafaq Alaih)
Adapun korban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja (Iqna’), jadi tidak diperbolehkan dua orang menggabungkan uangnya lantas dibelikan satu kambing dan berqurban dengan satu kambing tersebut. Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunnah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban sunnah, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير (الحج :28)
Dan makanlah sebagian dari padanya (an’am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi faqir.
Begitu pula yang diceritakan dalam hadits bahwa Rasulullah saw. memakan hati hewan qurbannya. Adapun bagi mereka yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya, maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.
Lalau bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa’, fakir, miskin secara Cuma-Cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu, termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasarkan pada haidts riwayat Hakim sebagaimana berikut:
من باع جلد أضحية فلا أضحية له (رواه الحاكم)
Barang siapa menjual kuliy qurbannya, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Hakim)
Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan sebagai sandal. Sepatu, tempat air dan lain sebagainya. Tetapi tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama.
Daging quban disyaratkan untuk dibagiakan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya (memanfaatkannya), apakah untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah miliknya sendiri.
KH. Sahal mahfudz (Redaktur: Ulil Hadrawy)