NU Jogja Apresiasi Tarian Emprak

Miror dari NU Online
Salah satu kesenian klasik, Emprak, yang sudah hidup sejak jaman Demak dan berkembang pada masa Sultan Agung, telah menyemarakkan acara Syawalan PWNU Daerah Istimewa Yogyakatya (DIY), Ahad 2 September.

Penampilan Shalawat Emprak
Wakil Ketua PWNU DIY M. Jadul Maula mengatakan komitmen warga NU untuk menguatkan kembali tradisi para leluhur yang agung maknanya. "Kesenian ini merupakan warisan leluhur dalam mendakwahkan ajaran kebajikan kepada masyarakat. Dengan strategi kesenian inilah, ajaran kebajikan yang ada dalam agama bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga terjadi hubungan yang harmonis dan sinergis antara semangat beragama dan semangat berbudaya," jelas Jadul, seperti yang dilaporkan Taufiq.

“Kesenian tradisional Emprak merupakan perpaduan antara seni musik, vokal, tari dan sastra. Kesenian ini merupakan perkembangan dari tradisi lisan, yang sudah turun temurun," lanjutnya.

Ada dugaan, kata Jadul, embrio kesenian ini muncul sejak zaman Demak dan berkembang zaman Sultan Agung. Saat ini, naskah tertulis shalawat ini merujuk pada kitab Telodho yang ditulis atas inisiatif kanjeng Gusti Yudhonegoro. Berisi sejarah kisah perjuangan Nabi Muhammad dan unsur nilai-nilai agama islam,maupun nilai moral etika Jawa.

"Dalam rangkaian pertunjukan kesenian ini  pembacaan rawen atau riwayat tentang sejarah Nabi Muhammad dilakukan oleh dalang. Dalang berperan sebagai pemegang alur pertunjukan, dalang juga berhak melakukan pengembangan cerita namun harus sesuai dengan pokok isi cerita.”

Bagi Jadul, meskipun kesenian ini temanya shalawat namun kesenian ini kental akan unsur budaya Jawa, tercermin dari syair dan tembangnya hampir secara keseluruhan berbahasa Jawa dan irama yang digunakan pun merupakan irama pakem tembang Jawa seperti kinanthi, sinom, dan mijil.

“Model penggarapan pertunjukan kesenian shalawatan Emprak dekat dengan model penggarapan kesenian wayang. Sebab peran dalang sebagai juru cerita dan peran penari yang disebut dengan wayang. Alat musik atau instrumen yang digunakan adalah kendang, kempul, kentang, kentheng, dan gong." lanjutnya.

"Semangat menghidupkan warisan leluhur ini, menjadi tugas bersama anak bangsa. Setiap generasi mesti tetap menjaga warisan leluhur, sehingga identitas budaya bangsa tetap terjaga di tengah gempuran budaya modern yang pragmatis," pungkasnya.
 

NU, Jogja, dan Pergumulan Gerakan Islam


Miror dari PWNU DIY Online
NU harus keluar dari logika viktimisasi. Kalau ada logika begitu, di mana pun ada retorika balas dendam. Coba saja. Ketika saya memancing para kiai dengan logika konspirasi, langsung nyambung mereka. Bahwa ada konspirasi menghancurkan Islam. Kita harus hati-hati, kita bisa jadi korban. Retorikanya sama dengan orang transnasional Islam. Kalau mau jujur, sebenarnya gerakan orang NU sama halnya dengan transnasional.
Ilustrasi

Penuturan diatas merupakan bagian dari hasil wawancara redaksi nujogjaonline, Nasruddin  dan Muhammadun, bersama seorang ahli tentang gerakan Islam  kontemporer, Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Berikut ini adalah bagian kedua dari artikel sebelumnya yang lebih banyak berbicara mengenai NU dan geakan Islam komtemporer:

Bagaimana dengan DIY?

Jogja ini menjadi awal. Kalau sukses di Jogja, bisa masuk di mana saja, Wahabi, Salafi. Meskipun ada Keraton, Jogja menjadi lahan persemaian.

Mengapa seperti itu?

Jogja itu cukup terbuka. Orang datang, bisa kost, tidak terlalu sulit. Sudah menjadi miniatur Indonesia. Lalu, banyak mahasiswa yang kemudian menjadi target. Mereka punya premis, “kalau mereka berhasil menggarap mahasiswa, ya bisa semuanya”. Kesalahan gerakan transnasional Islam tidak masuk ke IAIN/UIN. Ketika masuk ke kampus, mikirnya begini, kira-kira 20-30 tahun ke depan yang jadi pemimpin siapa? UGM, UI, ITB, dan kampus-kampus itu. Pengaruhi mereka-mereka ini, sudah kena kan? Kalau IAIN, ke depan ya jadi takmir. Padahal, apa yang terjadi kemudian perlawanan justru dari IAIN.

Perlawanan muncul, karena anak-anak IAIN dari pesantren?

Selama ini banyak yang mengajukan tesis itu. Mungkin ada benarnya juga. Tetapi begini, orang IAIN tiap hari mempelajari agama, malas kalau ngomong agama lagi. Dulu saya tinggal di Asrama Mahasiswa, biasa didatangi mereka-mereka itu, Jamaah Tabligh, Ikhwan. Diajak mengaji dsb. Tapi saya yang selalu menghadapi, karena teman-teman tahu saya anak IAIN, Jamaah Tablig itu bilang begini: “Innamaa ya’muru masajidallah...” Hanya yang memakmurkan masjid Allah yang beriman kepada Allah. Jadi kalau tidak memakmurkan masjid Allah itu tidak beriman.

Saya bilang, Anda harus paham masjid itu apa. Berdebat panjang kita. Masjid itu dalam masa Rasulullah, pusat kegiatan ekonomi, pasar, politik, militer, serangan militer dibahas di masjid. Kalau sekarang, fungsi-fungsi ini tersebar. Masjid hanya jadi tempat ibadah. Fungsi lain berkembang di institusi-institusi lain. Jadi memakmurkan asrama itu juga memakmurkan masjid. Mereka bilang: wallahu a’lam bis-shawab.

Kalau mereka menjadikan anak-anak IAIN dalam target pertama, akan lain ceritanya.

Memang NU ada perannya, tapi ini orangnya saja. Orang-orang berpikir sendiri. Mereka menerjemahkan sendiri, menjalankan sendiri.

Apa yang harus dilakukan NU?

NU harus mengerti penyakitnya apa? Ancaman yang menggerogoti itu apa? Kita harus pahami itu. Baru dicarikan apa obatnya, sehingga tidak salah.

Mengapa NU tidak melakukan hal itu, padahal NU bukan organisasi kemarin, ada apa dengan NU?

Saya pernah bertanya kepada pejabat DEPAG, direktur Humas soal peran pemerintah dalam membendung radikalisme agama. Analoginya begini, istilahnya seperti orang Madura, “Bayar Rp 500 kok minta selamat.” Kalau menghadapi pertanyaan dari Kiai-kiai, saya sudah hafal. Mereka tidak paham dan tidak mengerti apa akar soal radikalisme ini. Ada yang bilang ikuti Aswaja begini-begini dan semua selesai.

Posisi NU kultural bagaimana?

Yang moderat dan budaya lokal. Ini kan kultural, beda dengan peran NU secara organisasi struktural. Peran secara kultural itu lebih signifikan dalam perubahan sosial.

Kalau bicara NU kecil, dalam sekup jamaah?

Titik itulah. Perlu penelitian mendalam, termasuk ketika orang bilang, saya ikut pengajian, pengajian seperti apa? Yang tentu saja ada unsur NU-nya. Sehingga mereka bisa bilang begini kepada jamaah Wahabi, “Kami sudah saleh”. Ini lebih dahsyat.

Kalau dipahami dalam sekup jamaah posisi kunci adalah pemimpin jamaah, mereka punya kekuatan besar?

Gerakan budaya, silent resistance atau cultural resistensi. Tidak dipaket dalam sebuah perlawanan. Tidak ada workshop aswaja. Ini tidak seperti itu, natural saja. Atau, NU pusat membuat cultural movement, revitalisasi untuk membendung dan membangun islam yang moderat dan multikultural. Menurut saya, yang harus dilakukan NU adalah terlibat dalam kampanye.

Gus Dur pernah melancarkan gerakan Kyai Kampung. Bagaimana peran mereka?

Kiai Kampung itu terlalu [a]politis. Mereka merasa dikadalin oleh orang-orang yang main politik. Ada dr Umar Wahid, adiknya Gus Dur. Dia anggota DPR dapil Kebumen, Wonosobo, pernah melakukan kunjungan ke konstituen. Saya mengikutinya. Kiai-kiai curhat, “Gus, kami sudah sadar kami dijadikan batu pijakan untuk menjadi pejabat. Setelah mereka naik, kami dilupakan.”

Kalau NU bisa membangun gerakan kultural yang masif itu bagus. Jargonnya sudah oke: mengamankan NKRI. Tapi soal Ahmadiyah diserang, apa yang dilakukan NU? Juga soal Irshad Manji. Saya tidak pro-Irsyad. Tapi kalau orang NU komitmen membela pluralisme, ya harus konsisten, melawan pengaruh intimidasi.

Ketika isu Lady Gaga, itu kan NU masih terbawa retorika wahabi-salafi. Menurut saya perlu dipikirkan ada persoalan. Bukan kita pro- dengan mereka itu, tapi kalau kita setuju dengan negara multikultural, mereka perlu diberi tempat, sepanjang tidak melanggar platform bersama. Okelah kita memprotek umat sendiri, tapi jangan melarang.

Semisal tidak ada seorang NU pun yang mendengarkan ceramah Irshad itu ok, tetapi jangan melarang. Ya kalau ngomongnya itu Amerika. Kalau Islam NU melakukan gerakan kultural membela pluralisme, itu luar biasa. Itu yang disampaikan dalam isu negara gagal. Problem utama karena negara tidak melindungi segenap bangsa Indonesia. Tadi argumenya Donny Gahral Adian, ya itu. Siapa segenap bangsa Indonesia? Termasuk minoritas kan? Konstitusi itu diperjuangkan para leluhur, ada Wahid Hasyim.

Tapi ketika Ahmadiyah diserang, NU diam saja. Mereka termakan retorika kaum radikal. Lady Gaga = Yahudi. Harusnya NU meng-counter kelindan retorika sesat itu. Tidak ada multikulturalisme dalam pengertian keyakinan. Tidak juga kita harus membenarkan keyakinan Irshad Manji, tidak. Tapi ia punya hak untuk menyampaikan pikirannya. Kalau kita itu bangsa yang percaya diri, mestinya NU Muhammadiyah pede, convident. Kalah sama orang desa yang pede dengan mekanisme silent resistent.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Portal ini dikelola oleh Lakpesdam PCNU Kota. Seluruh konten dalam portal ini berlisensi CC-BY-SA-N.
Published by PCNU Yogyakarta
Proudly powered by Blogger