Sikap NU terhadap Perubahan UUD 1945

Logo NU
I.Mukadimah

Dalam sistem politik demokratis seperti sekarang ini, penyelenggaraan negara serta pemerintahan dipegang oleh organisasi politik atau partai politik, baik yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif. Semua aspirasi politik disalurkan melalui organisasi politik yang ada. Sementara organisasi kemasyarakatan seperti NU memfokuskan diri pada pengembangan pendidikan dakwah dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Tetapi dalam kenyataannya dewasa ini banyak kalangan rakyat yang menyampaikan bebagai aspirasinya, terutama mengenai kesejahteraan dan keamanan mereka kepada NU. Padahal semestinya aspirasi tersebut disampaikan kepada partai politik atau wakil mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengaduan dan aspirasi yang diamanatkan ke NU semakin banyak, sehingga tidak mungkin NU menghindar atau berdiam diri. Di sisi lain NU meihat kondisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara banyak mengalami kemerosotan. Sebagai salah satu pendiri bangsa ini dan sebagai rasa tanggung jawab untuk ikut mengamankan negara, maka NU mulai melakukan kajian serius terhadap berbagai kondisi yang dialami bangsa ini.

Dalam kajian tersebut ditemukan ada tiga persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini, yaitu semakin tidak jelasnya sistem politik ketatanegaraaan kita, semakin tidak terarahnya kebijakan ekonomi nasional dan semakin hilangnya orientasi kebudayaan nasional. Hal itu terjadi tidak lain karena bangsa ini telah terlalu jauh meninggalkan cita-cita pendiri bangsa ini, sehingga telah jauh menyimpang dari Khittah yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu dalam Munas NU di Cirebon 2012, NU mengajak pada seluruh bangsa ini agar kembali ke khittah bangsa ini yaitu Kembali ke Khittah Indonesia 1945, yang mencerminkan cita-cita luhur bangsa ini.

II. Prinsip Dasar NU

Untuk memperbaiki negeri ini, kita perlu menelaah persoalan fundamental negara ini yaitu UUD 1945. Konstitusi ini telah diamandemen sedemikian rupa sehingga melahirkan sistem yang tidak sesuai dengan cita-cita awal. Hal itu terjadi karena amandemen UUD 1945 dilakukan dengan tergesa-gesa dan dilaksanakan tanpa kecermatan serta tanpa memperhatikan falsafah, citaa-cita serta prinsip-prinsip dasar negara.

Kembali ke Khittah 1945 ini tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945. Demikian juga tidak mensakralkan hasil amandemen yang sudah dilakukan. Sesuai dengan amanat pasal 37 UUD itu perlu disempurnakan. NU sangat menghormati hasil amandemen, misalnya mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan sebagainya. Tetapi Amandemen Kelima yang direncanakan haruslah berani melakukan amandemen atau meninjau kembali terhadap hasil amandemen yang telah dilakukan yang jelas-jelas merugikan kepentingan rakyat dan bangsa serta merendahkan kedaulataan negara Republik Indonesia.

Khittah Indonesai 1945 merupakan keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses sejak zaman Kebangkitan Nasional yang kemudian dirumuskan menjadi dasar Negara Pancasila, dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan, dirumuskan menjadi Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan menyeluruh. Dengan demikian Penyempurnaan UUD 1945 haruslah:

Pertama: sesuai dengan semangat Proklamasi, yaitu cita-cita dan semangat untuk membentuk negara Republik Indonesia merdeka dan berdaulat.

Kedua: sesuai dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, yang mengedepankan prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan/persatuan, permusyawaratan serta keadilan.

Ketiga: sejalan dengan amanah Mukadimah UUD 1945. Yang menentang segala bentuk penjajahan, amanat tentang peran negara dan tugas pemerintah dalam melindungi dan mensejahterakan segenap warga negara.

Keempat: dilaksanakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan.

Kelima: mempertimbangkan aspirasi, tatanilai dan tradisi bangsa ini.

Hasil amandemen UUD 1945 yang tidak sesuai dengan prinsip ini harus diamandemen kembali, agar negara ini tidak terjerumus dalam kesulitan bahkan krisis serta kehilangan identitas seperti yang terjadi sekarang ini. Karena itu NU menegaskan bahwa bentuk NKRI harus tetap dipertahankan, karena ini sesuai dengan keputusan Muktamar NU 1984 di Situbondo bahwa NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan bangsa Indonesia.

III. Langkah Strategis.

Untuk meneguhkan eksistensi NKRI ini, ada beberapa langkah strategis yang perlu dijalankan yaitu:

Pertama, perlu memperkuat kembali sistem presidensil, agar sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan presiden bisa mengendalikan haluan negara dan bisa menjalankan pemerintah secara efektif. Sementara dalam UUD kita sistem Presidensil sudah kabur bahkan telah mengarah pada sistem Parlementer, ketika DPR banyak memegang wewenang eksekutif. Dengan demikian pemerintahan jadi mandek dan tidak efektif dalam melaksanakan pembangunan.

Kedua, sebagai upaya menegakkan NKRI, maka prinsip negara kesatuan harus dipertegas, karena itu otonomi daerah yang dilaksanakan hampir tanpa batas itu telah mengarah pada sistem federal. Kecenderungan ini perlu segara dihentikan.

Ketiga, dalam upaya memperkuat kedaulatan rakyat, maka status Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara harus dipulihkan kembali. Karena itu amandemen UUD 1945 yang menempatkan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara yang lain harus diamandemen ulang. Keberadaan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR perlu dipulihkan kembali. Dengan demikian MPR benar-benar  mencerminkan kedaulatan rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara.

Keempat, dalam rangka memperkuat sistem presidensil, maka perlu dilakukan penyederhanaan partai. Dalam rangka itu pula NU mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung perlu ditunda dan dikembalikan pada DPRD. Pilkada langsung telah sedemikian luas mengakibatkan konflik sosial, secara teknis sangat merepotkan yang mengganggu kinerja pemerintah daerah serta mengakibatkan pemborosan anggaran negara.

Kelima, dalam upaya memulihkan kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat, maka amandemen Pasal 33 UUD 1945, dengan penambahan pasal 4 dan 5, telah membuka peluang swasta asing mengelola kekayaan negara, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan negara. Karena itu pasal tersebut harus diamandemen kembali dengan memperkuat posisi negara dalam pemilikan serta mengelola kekayaan negara untuk ditasarufkan bagi kepentingan rakyat dan bangsa sendiri.

Keenam, Berbagai undang-undang yang diturunkan dari Pasal 33 tersebut terutama dalam UU Migas, Minerba dan UU Pangan yang jelas-jelas merugikan rakyat dan negara harus ditinjau ulang kalau perlu segera dibatalkan.

Ketujuh, munculnya berbagai undang-undang di bidang kebudayaan misalnya Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional yang tidak lagi mengutamakan pendidikan moral dan karakter dan undang-undang Penyiaran yang telah melanggar kerahasiaan seseorang dan mengancam keamanan negara perlu segera direvisi, karena semuanya tidak sesuai dengan falsafah hidup bangsa ini yang menjunjung kebersamaan.  

IV. Penutup

Usulan NU pada bangsa Indonesia agar Kembali ke Khittah Indonesia 1945 ini semata ditujukan untuk membangun bangsa ini sebagaimana cita-cita dan semangat awalnya, yaitu semangat 1945 yang murni dan ikhlas untuk membentuk suatu negara Indonesia yang merdeka, berdaulat menuju masyarakat yang adil dan makmur dengan segala daya upaya yang dilakukan untuk mencapai cita-cita tersebut.

Langkah kembali ke Khitah Indonesia ini merupakan sebuah perjuangan besar dan berjangka panjang. Untuk mewujudkan agenda ini diperlukan adanya  cita-cita yang tinggi serta nafas perjuangan yang panjang agar bisa mengemban amanah ini. Sebagai organisasi pengusul NU akan selalu mengawal cita-cita besar ini bersama dengan elemen bangsa yang lain yang sejalan dengan cita-cita besar ini. Semoga Allah meridhoinya dan rakyat mendukungnya. Amin.

Jakarta 1 November 2012.
Mirorr NU Online
 

Mengaktualisasikan Resolusi Jihad

Naskah Resolusi Jihad

Tepat 22 Oktober 2012 ini, bangsa Indonesia, khususnya arek Suroboyo mengenang jejak perjuangan yang tak terlupakan, yakni 67 tahun Resolusi Jihad. Peringatan sepanjang 67 tahun ini menjadi catatan sangat penting bagi kaum santri dan arek Suroboyo, karena Resolusi Jihad inilah yang menjadi cambut paling utama bagi Bung Tomo untuk menggelorkan semangat perjuangan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berjuang melawan penjajah yang meletus tanggal 10 November 1945 itu bukan terjadi begitu saja, tetapi itu berkobar karena ditiup oleh Resolusi Jihad yang dikobarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

Dalam catatan M. Mas’ud Adnan (2009) dijelaskan bahwa meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.

Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Alquran. Sekali lagi, membela tanah air?”

Mbah Hasyim yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Setelah Resolusi jihad ditandatangani, pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar NU menyerukan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.  

Dalam Resolusi Jihad ini, ada lima hal yang ditegaskan NU. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. Ketiga, musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Keempat, umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kelima, kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap muslim (fardhu ’ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.

Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya.   M.C. Ricklefs (1991), indonesianis asal Australia mengakui bahwa ribuan kiai dan santri mengalir ke Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian meletus peristiwa 10 November 1945, yang kini ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah.

Kini, sudah 66 tahun Resolusi Jihad berlalu. Saatnya Arek Suroboyo membangkitkan kembali nasionalisme dalam menegakkan martabat bangsa. Resolusi jihad menjadi sebuah ingatan historis yang sangat berharga untuk dikontekstualisasikan dalam menggelorakan kembali spirit nasionalisme arek Suroboyo. Jejak perjuangan dalam 10 November 1945 jangan menjadi kenangan romantis yang terus diulang-ulang tanpa makna berarti. Tetapi perlu dibuktikan secara nyata dengan langkah-langkah yang strategis, sehingga melahirkan gerakan resolusi jihad jilid dua yang sesuai dengan jaman sekarang. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menggelorkan semangat resolusi jihad bagi arek Suroboyo.

Pertama, menjadikan resolusi jihad dan 10 November 1945 sebagai pahatan sejarah yang selalu menancap kuat dalam sanubari arek Suroboyo. Para kiai, ulama, tokoh masyarakat, pemerintah dan organisasi sosial kemasyarakatan harus bergandeng tangan menancapkan spirit nasionalisme bagi arek Suroboyo. Peran semua pihak dan semua sektor sangat dibutuhkan untuk menggugah semangat perjuangan arek Suroboyo dalam menjaga dan menegakkan martabat bangsa.

Kedua, kalau dalam perjuangan pasca kemerdekaan musuh utamanya adalah penjajah, maka perlu dicari rumusan musuh yang menjadi ancaman sekarang. Barangkali korupsi dan terorisme menjadi musuh sangat nyata yang harus ditancapkan dalam sanubari arek Suroboyo, sehingga bisa mengenali musuh yang akan dibasmi. Korupsi dan terorisme begitu nyata, sehingga memudahkan untuk menggelorkan semangat perjuangan arek Suroboyo dalam menjaga martabat bangsa. Baik korupsi dan terorisme selama ini telah meruntuhkan martabat bangsa Indonesia, sehingga harus dilawan dengan semangat utuh sebagaimana perjuangan tahun 1945.  

Menggelorakan dan menegakkan spirit nasionalisme arek Suroboyo ini sangat penting untuk direfleksikan di tengah beragam kecamuk sosial yang terus meruntuhkan bangsa ini. Arek Suroboyo harus segera bangkit, melanjutkan perjuangan KH Hasyim Asy’ari, Bung Tomo, dan lainnya untuk  menjaga kedaulatan NKRI. (Muhammadun, Pimred Majalah Bangkit PWNU DIY)

Oleh: Muhammadun Miror dari NU Jogja Online



*Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 22 Oktober 2012.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Portal ini dikelola oleh Lakpesdam PCNU Kota. Seluruh konten dalam portal ini berlisensi CC-BY-SA-N.
Published by PCNU Yogyakarta
Proudly powered by Blogger