Ilustrasi, Sumber gambae http://atmajaya.ac.id |
Waryono Abdul Ghafur[1]
Abstrak
Isu kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, yang pada dua dasawarsa terkahir menjadi isu sentral, satu diantaranya dipicu oleh kenyataan terjadinya diskriminasi gender di dunia pendidikan itu. Isu gender bahkan hanya salah satu bagian dari persoalan sosial yang lebih luas, yang harus direspon, lebih-lebih dalam konteks Islam.
Dalam sumber otoritatif Islam ternyata terdapat nilai-nilai dasar universal yang mendorong kesetaraan, bukan hanya dalam konteks perbedaan gender, namun juga dalam persoalan sosial lainnya. Oleh karena itu Islam sangat melarang sikap diskriminatif. Sebaliknya Islam medorong kesetaran dalam berbagai level. Itulah salah satu makna Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin.
A. Pendahuluan
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” dan sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, ayat 2 “setiap warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Lebih lanjut pada pasal 11 menyebutkan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negera tanpa diskriminasi”. Landasan yuridis ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan dan pengajaran yang bermutu, memberikan kemudahan akses tanpa diskriminasi, sebagaimana warga negara lain yang “normal”.
Landasan ideal yuridis-normatif tersebut memang indah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, ibarat “jauh panggang dari apinya”, kenyataan menunjukkan bahwa prosentase anak berkebutuhan khusus “cacat” yang mendapatkan layanan pendidikan di Indonesia jumlahnya amat sedikit. Menurut data PBB bahwa di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekiar 500 juta orang cacat. Dari total itu sekitar 80 % hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi diabilitas (angka kecacatan) dari jumlah total populasi adalah sekitar 2.3 %, sedangkan angka prefalensi anak berbakat sekitar 2 %. Artinya setiap 1.000 orang terdapat 23 orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa.[2]
Bila dicermati pelaksanaan PLB (Pendidikan Luar Biasa) di Indonesia maka setidaknya terdapat tiga masalah dalam penyelengaraan PLB. Pertama, prosentase penderita cacat yang mendapatkan layanan pendidikan amat kurang memadai yaitu 0,2 % pada tahun 2000. Sedangkan anak berbakat belum mendapatkan perhatian secara serius walau sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan layanan khusus. Kedua, perhatian pemerintah pada penderita cacat masih amat rendah yang hanya menyediakan 4 % dari total sekolah dan menampung 8 % dari penderita cacat yang bersekolah. Ketiga, layanan PLB mayoritas terdapat kota-kota besar di Jawa yang berarti penderita cacat di kota-kota kecil dan terpencil masih banyak terabaikan.[3]
Mencermati hal tersebut usaha untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan tanpa diskriminasi sebagai warga negara bagi warga negara yang berkebutuhan khusus harus dilakukan. Usaha tersebut telah banyak dilakukan, baik oleh organisasi dunia maupun nasional. Dengan berlandaskan kepada deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua—Education for all—(1990), Peraturan Standar PBB tentang persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan kerangka Aksi UNESCO (1990), Undang-Undang nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Kerangka Aksi Dakar (2000), Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003), dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004), Bangsa Indonesia berkomitmen menciptakan pendidikan Inklusif, yaitu jaminan sepenuhnya kepada anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainya untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Komitmen tersebut dituangkan dalam sebuah deklarasi Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif yang dilaksanakan pada tanggal 8-14 Agustus 2004 di Bandung.
Salah satu amanat deklarasi ini adalah: “Menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat”.[4] Pendidikan inklusi ini penting dilaksanakan, sebab selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.[5] Ketiga bentuk lembaga ini dinilai semakin menjauhkan peserta didik anak berkebutuhan khusus terhadap masyarakat umum, sementara tujuan lembaga pendidikan tersebut sesungguhnya adalah kelak diharapkan akan mampu berintegrasi dengan masyarakat, tetapi mengapa harus dijauhkan/dipisahkan dengan masyarakat. Karena itu lah pendidikan inklusi menemukan signifikansinya.
B. Sekilas Pendidikan Berkebutuhan Khusus/PLB
Pendidikan berkebutuhan khusus (special need education) atau sering disebut sebagai Pendidikan Luar Biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.[6] Pendidikan berkebutuhan khusus juga diartikan sebagai sebuah pendidikan yang menyediakan setting khusus seperti kelas khusus, sekolah khusus dan sekolah atau lembaga khusus dengan pengasramaan.[7] Tujuan Pendidikan ini adalah membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental dan atau perilaku (penyandang cacat)[8] agar mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Dalam perkembangannya, Pendidikan Luar Biasa yang berkonotasi Sekolah Luar Biasa (SLB) perlu dirubah dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus (Education for Children With Special Needs) yang mencakup anak-anak yang bersekolah di SLB/SDLB maupun anak-anak yang berada di sekolah reguler termasuk anak genius dan berbakat (gifted dan talented), anak yang mengalami kesulitan belajar, anak autis, down syndrome, anak korban narkoba dan lain sebagainya. Mereka ini membutuhkan pelayanan pendidikan khusus mulai dari satuan pendidikan TK, SD. SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi.[9] Layanan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP Nomor: 72 TAHUN 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa Pasal 4 adalah dapat berbentuk Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB); dan Bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.[10]
C. Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback[11] mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck[12] mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin[13] menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya. Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.[14]
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus pada bulan Juni 1994 di Salamanca Spanyol.[15] Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Melalui pendidikan inklusif ini, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.[16] Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam lingkungan masyarakat inklusif (keluarga, taman kanak-kanak, sekolah atau kelas tempat bekerja dan komunitas secara keseluruhan) siap mengubah dan menyesuaikan sistem lingkungan dan aktivitas yang berkaitan dengan semua orang lain serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang, begitu juga anak yang menyandang kecacatan harus menyesuaikan diri agar cocok dengan setting yang ada akan tetapi diperlukan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari lingkungan masyarakat inklusif.[17]
Pendidikan inklusi didasarkan pada empat landasan yaitu; landasan filosofis, yuridis, pedagogis, dan empiris. Pertama landasan filosofis. Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi mendasar yaitu apa yang disebut Bhineka Tunggal Ika[18] atau keragaman.
Kedua, landasan yuridis adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
Ketiga, landasan pedagogis adalah pasal 3 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
Keempat, landasan empiris yaitu hasil penelitian The National Academy of Sciences (Amerika Serikat) menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.[19] Dari situ beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut) bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
D. Pendidikan Inklusi dalam Pro dan Kontra
Penyelenggaraan pendidikan inklusif masih banyak menuai kontroversi. Setidaknya terdapat tiga pendapat tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pertama, pro pendidikan inklusi, kedua, kontra pendidikan inklusi dan ketiga, pelaksanaan pendidikan inklusi secara moderat (inklusi moderat)[20].
1.Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen bahwa sudah banyak bukti bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak, biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum, sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak, banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
2.Kontra inklusi
Penolak model pendidikan inklusi memberikan argumentasi bahwa peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum, hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan, tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal, pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya. Karenanya, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
3.Inklusi Moderat
Inklusi moderat memandang bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas dan sesuai dengan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan tersebut bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa siswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.
E. Pendidikan Islam dalam Perpektif Anak Berkebutuhan Khusus
1.Pendidikan Islam
Terdapat banyak pengertian tentang pendidikan Islam yang dirumuskan oleh para ilmuwan muslim, namun secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya.[21] Islam di sini menjadi ruh dan semangat dalam seluruh aktivitas pendidikan yang senantiasa diilhami dari dasar ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Fungsi pendidikan Islam adalah memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya insani yang ada pada subyek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah yang lazim digunakan yaitu menuju terbentuknya kepribadian Muslim. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah:
a) Mengembangkan wawasan peserta didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehinga dengannya akan timbul kreativitasnya;
b) Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberadaannya, baik secara individual maupun sosial, lebih bermakna; dan
c) Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individual maupun sosial.
2.Dasar-dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan dasar pendidikan di sini ialah pandangan yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori, perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Dasar-dasar Pendidikan Islam adalah:
a) Dasar Tauhid
b) Dasar Kemanusiaan
c) Dasar Kesatuan Umat Manusia
d) Dasar Keseimbangan
e) Dasar Rahmatan Lil ‘Alamin
Sedangkan tujuan pendidikan Islam pada intinya adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial.[22] Achmadi merinci tiga hal yang ingin dicapai dan menjadi tujuan tertinggi/terakhir pendidikan Islam. [23] Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan bersifat umum, karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu:
a) Menjadikan hamba Allah yang paling taqwa. Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah.
b) Mengantarkan peserta didik menjadi khalifatullah fil ardl (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam sekitar) dan lebih jauh lagi, mewujudkan rahmah bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekwensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup.
c)Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat, baik individu maupun masyarakat.
Dari pengertian, dasar dan tujuan Pendidikan Islam tersebut dapat dimengerti bahwa, dalam pendidikan Islam tidak terdapat “pembedaan” bagi anak berkebutuh
[1] Ditulis oleh Waryono AG, Syuriah PCNU Kota Yogyakarta dan dipubliskasian dalam web pribadinya http://waryono.com.