Telah jadi permasalahan klasik tentang perbedebatan qunut di dalam shalat, baik shalat shubuh, witr, dan shalat-shalat lain. Namun yang jadi permasalahan pokok ialah qunut dalam shalat shubuh, bahkan dalam konteks keislaman Indonesia, hal ini merupakan salah satu tema besar yang menjadi alasan perpecahan sebagian kelompok. Berangkat dari fenomena inilah penulis merasa tertarik untuk membahas tema ini dalam kajian Nasikh-Mansukh fi al-Hadits.
1.1 Hadits-hadits pendukung adanya Qunut dalam shalat al-Fajr (Shubuh)
Bukhari no. 946 (CD. ROM Mausu’ah)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ قَالَ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
Muslim no. 1083 (CD. ROM Mausu’ah)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا وَاللَّهِ لَأُقَرِّبَنَّ بِكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ
Muslim no. 1093 (CD. ROM Mausu’ah)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ حَدَّثَنَا الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ وَالْمَغْرِبِ
1.2 Hadis-hadis yang kontradiktif
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ خَلَفٍ وَهُوَ ابْنُ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ
2.1 Penarapan metode
2.1.1 Qunut telah dinasakh
Dalam pembahasan ini terdapat banyak pendapat, pendapat yang pertama menyatakan bahwasannya Hadis yang meniadakan qunut ini adalah hadits yang menasakh hadits-hadits yang pertama. Karena datangnya setelah Hadis-hadis yang menyatakan bahwasannya Rasulullah qunut dalam shalat shubuh dan maghrib. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abi Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hani’ al-Atsram dalam kitabnya “Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu”. Beliau juga memperkuat pendapatnya dengan pernyataan :
“Rasulullah hanya Qunut ketika mendoakan suatu kaum, dan tidak melaksanakannya secara kontinyu.”
Dan Hadits terakhir yang dijadikan argumen:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ أَخْبَرَنِي قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ
Jadi lafadz “Tarakahu” disini menjadikan kekuatan adanya penasakhan, karena secara literal, lafadz tersebut bermakna “kemudian Rasulullah meninggalkan Qunut tersebut.
Beliau menambahkan dengan hujjah amal al-Aimmah (Khulafa’ al-Rasyidin), Abu Bakar melaksanakan Qunut ketika mendoakan ahl al-riddah, Umar ketika mendoakan ahl al-faris, dan Ali pada saat terjadi peperangan, dengan kata lain para Khulafa’ al-Rasyidin tidak melaksanakannya secara mudawamah (hanya qunut Nazilah saja).
Tidak hanya itu, beliau juga melakukan upaya pentarjihan, yaitu dengan menyandingkan hadits terkahir dengan hadits dla’if yang diriwayatkan anas bin Malik dalam musnad Ahmad no. 3/162:
أن النبيّ لم يزل يقنت حتى مات
Pengarang kitab tersebut adalah penganut madzhab Imam Hanbal, seperti yang telah kita ketahui bahwa Imam Hanbal tidak mengkategorikan Qunut sebagai sunnah dalam Shalat. Jadi sangatlah wajar jika hasil dari ijtihadnya qunut telah dinasakh (Mansukh).
2.1.2 Qunut telah menasakh ketiadaannya.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh Abu Hafsh Umar bin Ahmad bin Utsman bin Syahin dalam karyanya “Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu”. Kitab ini memliki kesamaan nama dengan kitab karya Ibn al-Atsram pada point sebelumnya.
حدثنا احمد بن محمد بن مغلس قال حدثنا الحسين بن علي بن يزيد الصدائي وحدثني محمد بن القاسم الشطوي قال حدثنا احمد بن الخليل قالا حدثنا محمد بن يعلي يلقب زنبور قال حدثنا عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قالت نهى رسول الله صلي الله عليه وسلم عن القنوت في الفجر
Secara eksplisit Hadits ini menyatakan bahwasannya Qunut dalam Shalat al-Fajr (Shubuh) telah dilarang oleh Rasulullah saw. Namun Ibn Syahin berpendapat Hadits ini telah dihapus (Mansukh) dengan Hadits yang datang dari Anas ibn Malik :
عن ابو جعفر الرازي عن الربيع عن انس بن مالك ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قنت في صلاة الغداة حتى مات
Menurut beliau (Ibn Syahin), Hadits yang melarang Qunut dalam shalat Shubuh adalah Hadits Gharib, dan juga tidak diketahuinya rawi yang bernama Anbatsah. Sedangkan Hadits yang diriwayatkan oleh Anas tersebut menasakh hadits yang pertama dan juga hadits-hadits lain yang sependapat. Beliau juga berpijak pada Amal Ahl al-Madinah yang melaksanakan Qunut secara Mudawamah. Dari Amal ahl al-Madinah ini beliau menyimpulkan bahwa Hadits terakhir yang dapat menasakh, karena Hadits itulah yang digunakan oleh ahl al-Madinah. Untuk lebih menguatkan argumennya, beliau juga menambahkan pendapat dari Ibn Abi Dza’b :
“Qunut ialah perintah yang berlaku di negara ini (Madinah) sejak Islam itu ada”. Untuk menghindari kasalahan penterjemahan, berikut teks aslinya :
هو (القنوت )الامر بهذا البلد منذ كان الاسلام
Pendapat yang selaras juga dikemukakan oleh Abu al-Zanad, Ibn Harmaz, dan juga Sufyan al-Tsauri. Dalam keterangannya, beliau juga menambahkan, Madzhab Imam Malik—dalam hal ini sebagai Ulama Madinah—juga menyatakan bahwa Qunut hukumnya sunnah, namun perbedaannya dengan Al-Syafi’i, Imam Malik melaksanakannya sebelum Ruku’.
Catatan: Dalam kitab ini, hadits yang menasakh ialah hadits yang dianggap dla’if oleh al-Atsram dalam kitabnya “Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu” di atas. Namun disini penulis menawarkan sebuah hadits lain yang terdapat dalam sunan al-Tirmidzi yang juga disertai pendapat beberapa Ulama untuk jadi bahan pertimbangan :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي يَا أَبَةِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَا هُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ و قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى وَأَبُو مَالِكٍ الْأَشْجَعِيُّ اسْمُهُ سَعْدُ بْنُ طَارِقِ بْنِ أَشْيَمَ حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ بِمَعْنَاهُ
2.1.3 Analisis Imam Al-Syafi’i
Dalam pembahasan ini, penulis mencoba menghadirkan pendapat yang berbeda dari keduanya, yakni pendapat Imam al-Syafi’i dalam kitabnya Ikhtilaf al-Hadits.
Dalam awal pembahasannya, beliau menghadirkan Hadits yang membahas tentang Qunut yang dilaksanakan pada perang Ahl Bi’r Ma’unah. Perang tersebut berlangsung selama lima belas malam (hari), dan ada juga pendapat yang menyatakan satu bulan. Dan selama itu pula Rasulullah melaksanakan Qunut dalam setiap Shalat. Dan setelah perang itu usai, Rasulullah meninggalkannya. Menurut Imam al-Syafi’i, Rasulullah meninggalkan Qunut selain shalat shubuh, dan tetap menjalankannya pada waktu shubuh.
حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ أَخْبَرَنِي قَتَادَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ
“Syahr” dalam hadits tersebut ialah masa perang Ahl Bi’r Ma’unah, membaca doa Qunut dalam setiap shalatnya, kemudian meninggalkannya (Tarakahu) dalam empat shalat lainnya selain shalat shubuh. Adapun hukum Qunut selain shalat shubuh menurut Imam Al-Syafi’i ialah Mubah, seperti halnya membaca bacaan doa-doa dalam shalat. Status Hadits yang mengandung lafadz Tarakahu tersebut bukanlah sebagai Nasikh. Tapi lebih tepatnya Imam Syafi’i berpendapat, metode yang dapat diambil ialah al-Jam’u wa al-Taufiq.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَوَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ قَالَ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
Menurut Syafi’i, hadits-hadits yang menyatakan adanya Qunut ialah pasca perang Ahl Bi’r Ma’unah, karena sebelumnya Nabi saw tidak pernah membaca doa Qunut. Dan hadits di atas sebagai penguat bahwasannya Rasulullah masih memabaca Qunut dalam shalat shubuh pasca perang tersebut.
3. Simpulan dan penutup
Dari uraian ringkas di atas, dapat kita ketahui banyaknya perbedaan pendapat tentang hadits Qunut ini. Tidak hanya mengenai matan Hadits itu sendiri, tapi juga mengenai perbedaan pendapat ketika menempatkan hadits-hadits tersebut, mana yang Nasikh dan mana yang Mansukh. Dan juga adanya pebedaan pendapat mengenai penerapan metode, ada yang menganggapnya sebagai kajian nasikh mansukh, ada yang rajih-marjuh, dan juga ada yang al-Jam’u wa al-Taufiq. Semuanya sama-sama menggunakan argumen yang kuat. Jadi, sudah seyogyanya kita sebagai pengkaji hadits untuk membaca lebih cerdas lagi perbedaan-perbedaan tersebut. Sangat ironis sekali jika diantara kita masih saling memperdebatkan siapakah yang paling benar antara yang memakai qunut dan yang tidak. Namun sebagai pemula, tentu analisis yang disajikan penulis kurang begitu tajam, sehingga membutuhkan banyak koreksi dari pembaca. Semoga bermanfaat untuk Islam Indonesia, Amin.