Oleh Waryono Abdul Ghofur, Syuriah PCNU Kota Yogyakarta
Pengantar
Perhatian terhadap Islam, baik oleh pengkaji Islam maupun oleh lainnya telah melahirkan beberapa istilah yang mendeskripsikan muatan dari kecenderungan pemikiran Islam. Ada yang bersifat dikotomis, seperti Islam modernis versus Islam tradisional, Islam normatif versus Islam historis, Islam eksklusif versus Islam inklusif, Islam substantif versus Islam formalis dan lain-lain, tapi juga ada yang tidak dikotomis seperti Islam transformatif.
Beberapa istilah tersebut meski tidak bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’ (mengeluarkan unsur yang tidak termasuk di dalamnya), namun cukup representatif untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan kecenderungan pemikiran Islam. Dari pemilahan seperti itu, para peneliti selanjutnya membuat kategorisasi siapa saja pemikir yang tergolong dalam masing-masing model pemikiran itu.
Pada buku ini, meski penulisnya tidak menyatakan secara eksplisit akan kategori pemikirannya, namun editornya, Idris Thaha setelah mengamati dan membaca berbagai tulisan yang dieditnya ini menyimpulkan bahwa Azyumardi Azra, kini direktur sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan staff ahli wakil presiden bidang kesejahteraan rakyat, termasuk dalam ketegori pemikir substansial, yakni pemikir yang lebih banyak mendasarkan hal-hal yang bersifat subtansial atau esensial dan tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat formal. Menurut Thaha, Azra termasuk dalam pemikir Islam yang mengembangkan intelektualisme Islam yang bersifat subtansial, seperti halnya Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan lain sebagainya. Corak pemikiran ini sangat penting, di tengah menguatnya kecenderungan sebagian masyarakat yang “serba syari’at”.
Sekitar Kelahiran Buku
Buku Islam substantif ini bukan merupakan karya utuh Azyumardi Azra yang disusun secara serius dan sistematis, tapi merupakan salah satu karya yang di dalamnya terhimpun beberapa tulisan yang berserakan dan kemudian dikumpulkan dan diedit untuk menjadi sebuah buku. Buku ini merupakan satu dari lima karya Aztumardi Azra –dari beberapa karya Azra- yang lahir dari suntingan Idris Thaha.
Tidak seperti buku lainnya, karya ini berisi kumpulan 95 wawancara Azra sepanjang tahun 1989 hingga tahun 2000 yang dipublikasikan lewat beberapa media massa, meliputi Republika, Sabili, Tekad, Adil, Pendar, Aspirasi Kita, Suara Hidayatullah, Panji Masyarakat, Jawa Pos, The Jakarta Post, Kompas, Tashwirul Afkar dan lain-lain. Dilihat dari beberapa media yang mempublikasikannya tampak sangat beragam, dari mulai yang bersifat regional, nasional sampai internasional. Dari sudut afiliasi dan penerbitannya, media yang mempublikasikannya juga sangat heterogen, dari yang bersifat liberal sampai yang bercorak ‘fundamentalis’. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran, gagasan dan ide-ide Azra melintasi batas-batas atau sekat-sekat ‘idiologis’ tertentu.
Secara rinci, masing-masing wawancara dan jumlahnya itu dimuat oleh media mulai tahun 1989 dan 1995 (masing-masing hanya sekali), 1997 (3 kali), 1998 (13 kali), 1999 (72 kali) dan 2000 (5 kali). Dari jumlah tersebut tampak bahwa frekuensi terbanyak wawancara dimuat pada tahun 1999. Dengan demikian sudah bisa diduga apa isi dari wawancara itu, yakni sekitar persoalan sosial-politik-agama. Dengan kata lain sebagain besar wawancara itu berbicara tentang peristiwa dan kasus politik yang terjadi pada akhir rezim Orde Baru dan menjelang era reformasi.
Secara umum, semua tulisan yang termuat dalam karya ini merupakan respon Azra terhadap dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Analisis yang dipakai dalam melihat fenomena tersebut lebih ditekankan pada latarbelakang keilmuannya, yakni sejarah. Studi sejarah menjadi modal besar untuk memahami gerak dan gejolak politik. Dengan sejarah, Azra bisa melihat masa lalu, kini dan masa akan datang.
Karya ini merupakan salah satu dari sekian karya Azra. Ia melakukan kegiatan tulis-menulis, baik sebagai editor, penterjemah maupun sebagai penulis buku dan lepas. Karya yang lahir dari editorialnya adalah: Islam dan Masalah-masalah Kemasyarakatan, Perkembangan Modern dalam Islam dan Perspektif Islam di Asia Tenggara. Karya terjemahannya adalah: Mengenal Ajaran Kaum Sufi dan Agama di Tengah Sekularisasi Politik.
Sedangkan buku-buku yang lahir dari tulisannya yang sistematis adalah: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Pergolakan Politik Islam, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan dan Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, dan lain-lain.
Sistematika Buku dan Pokok-pokok Pikiran Penulis
Buku ini, oleh editornya dibagi menjadi lima bagian. Diakui oleh editornya, pembagian ini dilakukan secara acak sesuai dengan tema dan ide dasar dari masing-masing wawancara dengan maksud agar pembacanya dapat memahami topik-topik yang menjadi perhatian wartawan yang ditanyakan kepada Azra. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa dalam hal ini Azra lebih banyak sebagai narasumber dalam merespon persoalan aktual yang ditanyakan oleh wartawan sekitar hubungan agama (Islam) dan politik.
Bagian pertama, Azra berbicara mengenai peran, perilaku dan hubungan antara ulama dan umara. Menurutnya, ulama dan umara harus saling bekerja sama dan sebagai mitra. Apalagi –bagi Azra- kedudukan keduanya –sebagaimana disebutkan al-Qur’an- disebut setara. Namun Azra juga menggarisbawahi bahwa meski sebagai mitra, ulama tidak harus jinak dan tidak berdaya dihadapan umara. Ulama harus memperlihatkan sikap kritis. Sebab, bila tidak maka, ulama hanya akan menjadi “kuda tunggangan” umara yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat temporal dan lokal.
Pada bagian ini, Azra membuat klasifikasi mengenai ulama, yaitu ulama kontemporer dan ulama tradisional. Ulama kontemporer, menurut Azra adalah mereka yang bukan hanya menguasai kitab kuning, tapi juga mengikuti dan memahami perkembangan pemikiran kontemporer. Termasuk dalam ketegori ini adalah Nurcholish Madjid dan Amin Rais. Sedangkan ulama tradisonal adalah mereka yang hanya menguasai kitab kuning dan mengikuti apa yang menjadi perhatian ulama kontemporer. Dalam pengamatan Azra, dalam berhadapan dengan umara, ulama kontemprer lebih kritis dari pada ulama tradisional. Sikap kritis merupakan salah satu bentuk oposisi.
Kita tentu tidak perlu sepakat dengan model pembagian Azra ini dan orang-orang yang masuk pada masing-masing kategori yang dibuatnya. Sebab, dalam prakteknya, untuk masa kini, keduanya relatif sulit dipisahkan secara rigid, apalagi untuk fenomena kota. Namun terlepas dari ketidaksetujuan kita dengan kategori yang dibuatnya, Azra menyarankan agar ulama tidak terlalu berorientasi pada politik dan kekuasaan, agar menjadi kekuatan pressure. Bahkan ulama harus bisa membimbing umat Islam agar menjadi alat kontrol bagi kekuasaan, apalagi politik sering manipulatif. Saran ini paralel, karena pada akhir-akhir ini terdapat kecenderungan menguatnya “syahwat politik” para ulama untuk terjun ke politik praktis yang berakibat pada dilupakannya umat yang amsih membutuhkan bimbingannya.
Bagian kedua, Azra menyoroti munculnya partai-partai agama (Islam) dan penggunaan agama dalam politik. Bagi Azra, mengusung agama pada politik boleh, tapi dalam konteks level political ethics, sebab agama diperlukan untuk membimbing tingkah laku dan moral dalam berpolitik. Pada tataran inilah Azra menawarkan konsep-konsep substantif agama yang mesti di bawa pada aktivitas politik seperti keadilan, musyawarah dan kesetaraan.
Meski Azra mendukung adanya partai Islam, namun Azra khawatir, partai yang berbasis agama itu tidak prospektif dan malah tidak diminati oleh konstituen. Ternyata prediksi Azra itu benar. Partai-partai berbasis agama, kalah pada pemilu yang diadakan sejak pasca reformasi. Karena itu, Azra menyarankan agar menjadi kekuatan yang menentukan, partai-partai agama itu bersatu. Munkinkah? Perlu dibuktikan pada pemilu 2009 nanti. Tentu saja ini mungkin, kalau para pengurus partai Islam sadar akan pentingnya menyatukan langkah. Tapi kalau tidak, bukan tidak mungkin, mereka akan menikmati kekalahan lagi.
Bagian ketiga, Azra menyoroti perilaku politik yang terjadi pada era reformasi. Azra melihat fakta bahwa banyak terjadi kekerasan, money politics, pengerasan masa dan lain-lain. Praktek empiris tersebut, menurutnya banyak mengabaikan etika politik. Hal ini terjadi, menurut Azra, karena pelaku politik belum memahami betul makna demokrasi. Apalagi mereka lebih mengedepankan kepentingan sendiri atau kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Pasca reformasi ini bahkan praktek korupsi bukan saja sangat transfaran, namun juga terjadi sejak level atas sampai bawah.
Bagian keempat Azyumardi Azra memaparkan sepak terjang para elit, aktor dan tokoh politik yang menonjol perannya dalam pemilu dan SU MPR 1999. Ke-menonjolan mereka terutama terkait dengan pencalonan para elit itu sebagai presiden Republik Indonesia. Mereka adalah Nurcholish Madjid, Amin Rais, B.J. Habibie, Megawawati Seokarnoputri dan Abdurrahman Wahid.
Pandangan Azra pertama kali diarahkan terhadap Cak Nur yang dicalonkan sebagai presiden alternatif. Bagi Azyumardi, akseptabilitas Nurcholish dalam kecendekiaan belum tentu berarti juga akseptabel dalam bidang politik. Menurutnya, ide-ide Nurcholish bisa saja diterima oleh banyak kalangan, tetapi untuk mengekpresikannya belum tentu terwujud. Sebab untuk hal itu, perlu dukungan politik yang real. Oleh karena itu pula, Nurcholish sendiri menolak dengan tegas pencalonannya. Ini artinya, kecendekiawanan dan wawasan yang luas, belum tentu identik dengan ketrampilan dalam mengelola negara dan pemerintahan yang dapat diterima semua pihak.
Berikutnya, bidikan Azra tertuju kepada Habibie yang dipandangnya telah gagal dalam mengusut KKN dan harta kekayaan mantan Presiden Seoharto. Meski demikian, dalam pandangan Azra, Habibie berhasil menumbuhkan iklim demokrasi yang sebelumnya tersumbat.
Pandangan Azra kemudian ditujukan kepada Megawawati. Menurut Azra, Mega adalah profil elit politik yang turut membangkitkan kembali tradisionalisme politik. Ia terlalu bersandar kepada kharisma yang diwarisi dari sang ayah dan tidak berusaha melengkapinya dengan instrumen lainnya. Lebih jauhh bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa Mega adalah pimpinan yang tidak punya bekal yang cukup untuk menjadi presiden, kecuali kharisma ayahnya.
Sosok terakhir yang menjadi pengamatan Azra adalah Abdurrahman Wahid. Profil Abdurrahman Wahid yang biasa dan dikenal dengan Gus Dur dalam pandangan Azra adalah sosok yang sangat kontroversial, bukan hanya pada perilaku dan sikap politik-sosialnya saja tapi juga lebih-lebih pada pemikirannya.
Perilaku politik dan pemikirannya dikenal sulit dipahami oleh bahkan kalangan elit dan cendekiawan sekalipun. Ia sering menentang arus besar dinamika masyarakat. Dan ini pula yang menjadikannya kerap mendapat tuduhan dan salah paham. Namun demikian, ia sering kali menjadi referensi semua kalangan dengan tanpa mengenal batas dan level. Ia bahkan cenderung diterima oleh semua kalangan.
Bagian terakhir dari buku ini merekam pandangan dan obsesi Azra terhadap lembaga pendidikan tinggi yang dipimpinnya, IAIN atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketika diserahi amanat untuk memimpin perguruan tinggi agama bergengsi tersebut, Azra banyak melakukan terobosan. Ia bukan saja melanjutkan kebijakan-kebijakan dan sudah berjalan, tapi juga membuat sesuatu yang fenomenal, yakni mengubah IAIN menjadi universitas (UIN). Hal ini diambil sebagai respon atas perubahan yang terjadi di masyarakat yang terjadi dengan cepat.
Terobosan lainnya adalah terjalinnya sinergi kembali antara IAIN dan pesantren. Sinergi itu terbentuk melalui upaya untuk menerima kembali ijazah pesantren yang dahulu pernah ditolak, diterima kembali. Hal ini tentu saja membawa angin segar bagi pesantren yang jumlahnya cukup banyak di nusantara ini.
Evaluasi Kritis
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, buku ini bukan merupakan karya utuh Azyumardi Azra. Dari sekian banyak karyanya, baru dua yang merupakan karya utuhnya, yakni disertasi yang ditulisnya untuk meraih gelar doktor dan Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara. Tentu saja antara buku utuh dengan jenis buku hasil suntingan ada perbedaan.
Menulis sebuah buku utuh memang memerlukan keseriusan, namun hasilnya cukup baik dengan logicalsequency yang sistematis atau runtut. Memang ada juga kelemahan dari menyusun buku sejenis ini, yakni biasanya up to date, ketinggalan dengan isu-isu aktual. Kelemahan ini tidak didapatkan pada buku hasil suntingan, namun keunggulannya tidak didapatkan. Pada tataran inilah, penyunting harus pandai-pandai melakukan penyusunan agar hasilnya tidak melocat-loncat dan mudah dipahami.
Menulis buku dengan model terakhir ini masih menjadi trend di Indonesia. Hal ini karena banyak pertimbangan yang sifatnya teknis. Sangat jarang buku lahir dari sebuah upaya serius, kecuali biasanya hasil disertasi, bahkan orang sekelas Nurcholish Madjid belum membuahkan buku utuh.
Dari segi isi, seperti sudah dikemukakan, memang cukup aktual. Karena gagasan atau ide yang disampaikan mengikuti kejadian aktual. Namun dari sekian pemikiran dan pandangan Azra yang ada, mungkin ada satu yang perlu mendapat perhatian, yakni uraiannya mengenai dikotomi ulama pada bagian pertama buku ini. Tampaknya analisis Azra berhenti pada masa lalu ulama yang dikategorikan tradisional. Ulama sejenis ini memang memiliki sejarah yang kurang kritis terhadap kekuasaan dan tidak menguasai pemikiran kontemporer. Namun fakta sekarang menunjukkan bahwa justeru banyak ulama tradisional yang berbasis pesantren melampaui ulama yang dalam kategori Azra disebut ulama kontemporer.
Sekian dan wallah a’lam bissowab.