Masjid Incorporated

Abstrak

Masjid adalah tempat suci yang biasanya digunakan untuk melakukan aktivitas ibadah yang bersifat mahdoh. Namun bila ditilik secara leksikal dan historisnya, masjid tidak hanya terbatas berfungsi untuk keperluan yang bersifat vertical tersebut, namun lebih luas dan multidimensi. Masjid adalah tempat di mana pun di mana orang harus rendah hati dan menunjukkan ketundukannya kepada Yang Maha Tinggi dengan menggelar “sajadah ketaatan dan amal salih”. Karena itu seluruh bumi adalah masjid. Masjid karenanya dapat menjadi pusat segala aktivitas positif untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera. Dari masjid bermula niat suci untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat.



Kata Kunci: Masjid, Rendah hati, Pusat Aktivitas Positif, Kemakmuran



A.   Pendahuluan

Ilustrasi
Di Indonesia dikenal beberapa istilah untuk tempat yang biasa digunakan masyarakat dalam rangka bersama-sama menjalankan ibadaha mahdoh seperti shalat, yaitu masjid, langgar, musholla, surau dan lain-lain. Beberapa istilah tersebut secara substantive sama maknanya, yaitu tempat di mana orang yang hadir di dalamnya bertujuan untuk sujud, berdo’a, beri’tikaf, belajar dan bersilaturahim dengan tujuan hanya karena Allah.

Meskipun demikian, masyarakat memperlakukan secara berbeda dengan tempat-tempat tersebut. Berdasarkan pandangan fiqhiyyah masyarakat, tidak semua tempat ibadah tersebut dapat dijadikan sebagai tempat mengadakan shalat Jum’at, untuk beri’tikaf, dan lain-lain. Terlepas dari adanya berbagai pendapat tersebut, masyarakat tampaknya sepakat bahwa tempat-tempat tersebut hanya boleh digunakan untuk beribadah saja kepada Allah dalam pengertiannya yang sempit, yaitu shalat, I’tikaf dan lain-lain yang bersifat vertical. Tempat-tempat tersebut tidak dapat digunakan sebagai pusat perdagangan, kesehatan, perbengkelan dan sebagainya yang bersifat horizontal.

Dalam perkembangan sejarah, seperti di Indonesia, masjid sudah berkembang sedemikian rupa dan tidak hanya menjadi pusat ibadah yang bersifat vertical, tapi juga menjadi pusat kegiatan masyarakat yang bersifat duniawi. Di area masjid ada koperasi, mini market, tempat wedding, dan lain-lain. Apalagi kini masjid didesain bukan hanya satu lantai, tapi lebih dengan desain yang komprehensif.

Tulisan ini mengulas makna, peran dan tafsir ayat “memakmurkan masjid” dalam rangka turut serta memaknainya secara holistic dan menjembatani perbedaan pandangan mengenainya yang berbeda antara “yang mensakralkan” dengan yang “memprofankan”.

B.   Makna Substantif dan Peran Masjid

Masjid merupakan istilah Arab yang terbentuk dari kata sa-ja-da. Salah satu kata yang terbentuk dari akar kata tersebut adalah sujud dan masjid. Secara etimologis, sa-ja-da atau sujud adalah meletakkan kening ke atas permukaan bumi dan merendahkan diri dengan maksud menghormat. Praktek sujud seperti ini merupakan bentuk perbuatan tertinggi yang dilakukan oleh seseorang dihadapan yang dihormatinya. Karena itu, sujud seperti ini hanya boleh dilakukan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, Allah mengingatkan:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

37. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah.[1]

Sebab, sujud sebagaimana digambarkan di atas merupakan bentuk pernyataan ketaatan yang utuh seorang hamba kepada Yang Disembahnya. Sujud seperti ini karenanya melibatkan tiga anggota tubuh manusia yang sering melambangkan sikap sebaliknya dari kerendah-hatian, yakni sombong, yaitu kaki, tangan dan kepala. Bila seseorang sudah bisa menundukkan hatinya, sehingga tidak sombong, maka ketiga anggota badannya tersebut dengan sendirinya akan memperlihatkan kesopanan dan perilaku baik lainnya. Itulah mengapa misalnya dalam al-Qur’an ditegaskan:




18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.[2]

Sujud merupakan perilaku yang menggambarkan kerendah-hatian atau kekalahan pelakunya dihadapan ‘liyan/others’ yang dihormati, disembah atau yang mengalahkannya dan tentu dihadapkan dengan makhluk, Allah adalah yang Maha Kuasa, yang ‘mengalahkan’. Karena itu, baik atas kesadaran atau terpaksa, semua makhluk bersujud kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. ar-Ra’d [13]: 15


15. hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.

Dalam pengertian dasar itulah, kata masjid terbentuk. Masjid artinya adalah tempat sujud. Namun dari pengertian dasar itu diketahui pula bahwa masjid bukan sekedar tempat sujud, tapi segala tempat untuk melakukan beragam aktivitas yang mengandung ketaatan, kepatuhan dan ketundukan kepada Allah yang terangkum dalam kata ibadah, baik mikro (mahdoh) maupun makro (ghairu mahdoh). Maka, dalam pengertian asal dan luasnya, masjid muncul dalam berbagai bentuk; bisa kampus, kantor, rumah, tanah lapang, dan lain-lain.

Dalam pengertian tersebut Nabi pernah bersabda: Di mana saja engkau berada, jika waktu shalat tiba, dirikanlah shalat, karena di situ pun masjid (HR. Muslim). Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh bumi adalah masjid. Artinya, di mana saja mendirikan shalat atau ibadah lainnya (kecuali di beberapa tempat yang ditetapkan agama seperti kuburan atau toilet), maka sah shalatnya. Secara lebih luas, seluruh planet ini bisa menjadi tempat beribadah kepada Allah. Siapa pun boleh bersujud di atas rumput, di atas pasir, di atas gunung, ataupun di ladang jagung. Karena merupakan sarana untuk mencapai Tuhan, maka planet kita ini penting untuk dilindungi.

Dari kajian di atas, setidaknya kita mendapatkan dua ajaran pokok mengenai masjid, yaitu masjid adalah semua tempat pengabdian kepada Allah yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan jauh dari sifat angkuh dan masjid adalah symbol spirit yang menguatkan betapa sangat dekatnya hubungan manusia dengan alam, sehingga dari masjid dapat dimulai gerakan ramah dan memelihara alam.
Dengan demikian jelas bahwa Islam adalah agama yang pada hakikatnya berhubungan dengan lingkungan, dan seorang Muslim karenanya harus bisa menjadi bagian pembela bumi atau alam secara keseluruhan. Sejalan dengan itu, penulis sepakat dengan gagasan "Din Hijau /green din", yakni sebuah gagasan yang mendorong beragama yang menguatkan sinergi antara agama dan lingkungan.

Pengertian masjid seperti di atas kini mulai memudar, diantaranya karena kuatnya pengertian masjid secara fiqhi, yaitu sebuah bangunan tempat shalat atau ibadah kaum Muslim. Dari pengertian inilah dapat ditelusuri mengapa masjid semakin jauh dan dijauhi oleh masyarakat dan kehilangan peran sosialnya. Pengertian itu juga dengan sendirinya telah membatasi makna ibadah dan karenanya bila ada kegiatan masjid yang tidak secara eksplisit mengandung makna ibadah, sebagian masyarakat atau takmir melarangnya, seperti seminar dan lain-lain. Padahal sejarah mencatat, masjid memiliki multifungsi. Quraish Shihab setidaknya mencatat sepuluh peran atau fungsi masjid pada zaman Nabi, yaitu tempat ibadah, tempat pendidikan, tempat member santunan social, tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial-budaya, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tawanan, dan tempat penerangan atau pembelaan agama)[3]
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Portal ini dikelola oleh Lakpesdam PCNU Kota. Seluruh konten dalam portal ini berlisensi CC-BY-SA-N.
Published by PCNU Yogyakarta
Proudly powered by Blogger